TOKOH PAKAR SOSILOGY DUNIA
1.
Auguste Comte : Sosiologi
Positivis
Auguste Comte (1798-1857) sangat
prihatin terhadap anarkisme yang merasuki masyarakat saat berlangsungnya
Revolusi Perancis. Oleh karena itu Comte kemudian mengembangkan pandangan
ilmiahnya yakni positivisme atau filsafat sosial untuk menandingi
pemikiran yang dianggap filsafat negatif dan destruktif. Positivisme mengklaim
telah membangun teori-teori ilmiah tentang masyarakat melalui pengamatan dan
percobaan untuk kemudian mendemonstrasikan hukum-hukum perkembangan sosial.
Aliran positivis percaya akan kesatuan metode ilmiah akan mampu mengukur secara
objektif mengenai struktur sosial.
Sebagai usahanya, Comte mengembangkan fisika sosial
atau juga disebutnya sebagai sosiologi. Comte berupaya agar sosiologi
meniru model ilmu alam agar motivasi manusia benar-benar dapat dipelajari
sebagaimana layaknya fisika atau kimia. Ilmu baru ini akhirnya menjadi ilmu
dominan yang mempelajari statika sosial (struktur sosial) dan dinamika sosial
(perubahan sosial).
Comte percaya bahwa pendekatan ilmiah
untuk memahami masyarakat akan membawa pada kemajuan kehidupan sosial yang
lebih baik. Ini didasari pada gagasannya tentang Teori Tiga Tahap
Perkembangan Masyarakat, yaitu bahwa masyarakat berkembang
secara evolusioner dari tahap teologis (percaya terhadap kekuatan
dewa), melalui tahap metafisik (percaya pada kekuatan abstrak), hingga tahap positivistik
(percaya terhadap ilmu sains). Pandangan evolusioner ini mengasumsikan bahwa
masyarakat, seperti halnya organisme, berkembang dari sederhana menjadi rumit.
Dengan demikian, melalui sosiologi diharapkan mampu mempercepat positivisme
yang membawa ketertiban pada kehidupan sosial.
2. Emile Durkheim : Sosiologi Struktural
Untuk menjelaskan tentang masyarakat,
Durkheim (1859-1917) berbicara mengenai kesadaran kolektif sebagai kekuatan
moral yang mengikat individu pada suatu masyarakat. Melalui karyanya The
Division of Labor in Society (1893). Durkheim mengambil pendekatan
kolektivis (solidaritas) terhadap pemahaman yang membuat masyarakat bisa
dikatakan primitif atau modern. Solidaritas itu berbentuk
nilai-nilai, adat-istiadat, dan kepercayaan yang dianut bersama dalam ikatan
kolektif. Masyarakat primitif/sederhana dipersatukan oleh ikatan moral yang
kuat, memiliki hubungan yang jalin-menjalin sehingga dikatakan memiliki Solidaritas Mekanik. Sedangkan
pada masyarakat yang kompleks/modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah
menurun karena terikat oleh pembagian kerja yang ruwet dan saling menggantung
atau disebut memiliki Solidaritas Organik .
Selanjutnya dalam karyanya yang lain
The Role of Sociological Method (1895), Durkheim membuktikan cara kerja
yang disebut Fakta
Sosial, yaitu fakta-fakta dari luar individu yang mengontrol
individu untuk berpikir dan bertindak dan memiliki daya paksa. Ini berarti
struktur-struktur tertentu dalam masyarakat sangatlah kuat, sehingga dapat
mengontrol tindakan individu dan dapat dipelajari secara objektif, seperti
halnya ilmu alam. Fakta sosial terbagi menjadi dua bagian, material
(birokrasi dan hukum) dan nonmaterial (kultur dan lembaga sosial).
Dua tahun kemudian melalui Suicide
(1897), Durkheim berusaha membuktikan bahwa ada pengaruh antara sebab-sebab
sosial (fakta sosial) dengan pola-pola bunuh diri. Dalam karya itu disimpulkan
ada 4 macam tipe bunuh diri, yakni bunuh diri egoistik (masalah
pribadi), altruistik (untuk kelompok), anomik (ketiadaan
kelompok/norma), dan fatalistik (akibat tekanan kelompok). Berdasarkan
hal itu Durkheim berpendapat bahwa faktor derajat keterikatan manusia pada
kelompoknya (integrasi
sosial) sebagai faktor kunci untuk melakukan bunuh diri.
3. Karl Marx: Sosiologi Marxis
Karl Marx (1818-1883) melalui
pendekatan materialisme
historis percaya bahwa penggerak sejarah manusia adalah konflik kelas.
Marx memandang bahwa kekayaan dan kekuasaan itu tidak terdistribusi secara
merata dalam masyarakat. Oleh karena itu kaum penguasa yang memiliki alat
produksi (kaum
borjuis/kapitalis) senantiasa terlibat konflik dengan kaum
buruh yang dieksploitasi (kaum proletar).
Sosiologi Marxis tentang kapitalisme menyatakan bahwa
produksi komoditas mau tak mau membawa sistem sosial yang secara keseluruhan
merefleksikan pengejaran keuntungan ini. Nilai-nilai produksi merasuk ke semua
bidang kehidupan. Segala sesuatunya, penginapan, penyedia informasi, rumah
sakit, bahkan sekolah kini menjadi bisnis yang menguntungkan. Tingkat
keuntungannya menentukan berapa banyak staf dan tingkat layanan yang diberikan.
Inilah yang dimaksud Marx bahwa infrastruktur ekonomi menentukan suprastruktur
(kebudayaan, politik, hukum, dan ideologi).
Pendekatan Sosiologi Marxis menyimpulkan
mengenai ide
pembaruan sosial yang telah terbukti sebagai ide yang hebat
pada abad XX, sebagai berikut (Osborne, 1996: 50): semua masyarakat dibangun
atas dasar konflik, penggerak dasar semua perubahan sosial adalah ekonomi,
masyarakat harus dilihat sebagai totalitas yang di dalamnya ekonomi adalah
faktor dominan, perubahan dan perkembangan sejarah tidaklah acak, tetapi dapat
dilihat dari hubungan manusia dengan organisasi ekonomi, individu dibentuk oleh
masyarakat, tetapi dapat mengubah masyarakat melalui tindakan rasional yang
didasarkan atas premis-premis ilmiah (materialisme historis), bekerja dalam
masyarakat kapitalis mengakibatkan keterasingan (alienasi), dan dengan berdiri
di luar masyarakat, melalui kritik, manusia dapat memahami dan mengubah posisi
sejarah mereka.
4. Herbert Spencer : Sosiologi Evolusioner
Herbert Spencer (1820-1903)
menganjurkan Teori
Evolusi untuk menjelaskan perkembangan sosial. Logika argumen
ini adalah bahwa masyarakat berevolusi dari bentuk yang lebih rendah (barbar)
ke bentuk yang lebih tinggi (beradab). Ia berpendapat bahwa institusi sosial
sebagaimana tumbuhan dan binatang, mampu beradaptasi terhadap lingkungan
sosialnya. Dengan berlalunya generasi, anggota masyarakat yang mampu dan cerdas
dapat bertahan. Dengan kata lain “Yang layak akan bertahan hidup, sedangkan
yang tak layak akhirnya punah”. Konsep ini diistilahkan survival of the fittest. Ungkapan
ini sering dikaitkan dengan model evolusi dari rekan sejamannya yaitu Charles
Darwin. Oleh karena itu teori tentang evolusi masyarakat ini juga sering
dikenal dengan nama Darwinisme Sosial.
Melalui teori evolusi dan pandangan
liberalnya itu, Spencer sangat poluler di kalangan para penguasa yang menentang
reformasi. Spencer setuju terhadap doktrin laissez-faire dengan
mengatakan bahwa negara tak harus mencampuri persoalan individual kecuali
fungsi pasif melindungi rakyat. Ia ingin kehidupan sosial berkembang bebas
tanpa kontrol eksternal. Spencer menganggap bahwa masyarakat itu alamiah, dan
ketidakadilan serta kemiskinan itu juga alamiah, karena itu kesejahteraan
sosial dianggap percuma. Meski pandangan itu banyak ditentang, namun Darwinisme
Sosial sampai sekarang masih terus hidup dalam tulisan-tulisan populer.
5. Max Weber : Sosiologi Weber
Max Weber (1864-1920) tidak sependapat
dengan Marx yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan kekuatan pokok perubahan
sosial. Melalui karyanya, Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, Weber
menyatakan bahwa kebangkitan pandangan religius tertentu– dalam hal ini
Protestanisme– yang membawa masyarakat pada perkembangan kapitalisme. Kaum
Protestan dengan tradisi Kalvinis menyimpulkan bahwa kesuksesan finansial
merupakan tanda utama bahwa Tuhan berada di pihak mereka. Untuk mendapatkan
tanda ini, mereka menjalani kehidupan yang hemat, menabung, dan
menginvestasikan surplusnya agar mendapat modal lebih banyak lagi.
Pandangan lain yang disampaikan Weber
adalah tentang bagaimana perilaku individu dapat mempengaruhi masyarakat secara
luas. Inilah yang disebut sebagai memahami Tindakan Sosial. Menurut
Weber, tindakan sosial dapat dipahami dengan memahami niat, ide, nilai, dan
kepercayaan sebagai motivasi sosial. Pendekatan ini disebut verstehen (pemahaman).
Weber juga mengkaji tentang rasionalisasi.
Menurut Weber, peradaban Barat adalah semangat Barat yang rasional dalam sikap
hidup. Rasional menjelma menjadi operasional (berpikir sistemik langkah demi
langkah). Rasionalisasi adalah proses yang menjadikan setiap bagian kecil
masyarakat terorganisir, profesional, dan birokratif. Meski akhirnya Weber
prihatin betapa intervensi negara terhadap kehidupan warga kian hari kian
besar.
Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik
sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang
memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi
yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik.
6. Georg Simmel : Filsafat Uang
Georg Simmel (1858-1919) sangat
terkenal karena karyanya yang spesifik tentang tindakan dan interaksi
individual, seperti bentuk-bentuk interaksi, tipe-tipe orang berinteraksi,
kemiskinan, pelacuran, dan masalah-masalah berskala kecil lainnya. Karya-karya
Simmel ini nantinya menjadi rujukan tokoh-tokoh sosiologi di Amerika.
Karya yang terkenal dari Simmel adalah
tentang Filsafat
Uang. Simmel sebagai sosiolog cenderung bersikap menentang
terhadap modernisasi dan sering disebut bervisi pesimistik. Pandangannya sering
disebut Pesimisme
Budaya. Menurut Simmel, modernisasi telah menciptakan manusia tanpa kualitas
karena manusia terjebak dalam rasionalitasnya sendiri. Sebagai contoh, begitu
teknologi industri sudah mulai canggih, maka keterampilan dan kemampuan tenaga
kerja secara individual makin kurang penting. Bisa jadi semakin modern
teknologi, maka kemampuan tenaga individu makin merosot bahkan cenderung malas.
Di sisi lain, gejala monetisasi di
berbagai faktor kehidupan telah membelenggu masyarakat terutama dalam hal
pembekuan kreativitas orang, bahkan mampu mengubah kesadaran. Mengapa? Uang
secara ideal memang alat pembayaraan, tetapi karena kekuatannya, uang menjadi
sarana pembebasan manusia atas manusia. Artinya uang sudah tidak dipahami
sebagai fungsi alat, tetapi sebagai tujuan. Kekuatan kuantitatifnya telah mampu
mengukur berbagai jarak sosial yang membentang antar individu, seperti cinta,
tanggung jawab, dan bahkan mampu membebaskan atas kewajiban dan hukuman sosial.
Barang siapa memiliki uang dialah yang memiliki kekuatan.
7. Ferdinand Tonnies : Klasifikasi Sosial
Ferdinand Tonnies (1855-1936) mengkaji
bentuk-bentuk dan pola-pola ikatan sosial dan organisasi sehingga menghasilkan klasifikasi sosial.
Menurut Tonnies, masyarakat itu bersifat gemeinschaft (komunitas/paguyuban) atau gesselschaft (asosiasi/
patembayan).
Masyarakat gemeinschaft
adalah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial tertutup, pribadi, dan
dihargai oleh para anggotanya, yang didasari atas hubungan kekeluargaan dan
kepatuhan sosial. Komunitas seperti ini merupakan tipikal masyarakat
pra-industri atau masyarakat pedesaan. Sedangkan pada masyarakat gesselschaft,
hubungan kekeluargaan telah memudar, hubungan sosial cenderung impersonal
dengan pembagian kerja yang rumit. Bentuk seperti ini terdapat pada masyarakat
industri atau masyarakat perkotaan. Tema dasar Tonnies adalah hilangnya komunitas
dan bangkitnya
impersonalitas. Ini menjadi penting dalam kajian tentang
masyarakat perkotaan.
TOKOH SOSIOLOGY INDONESIA
1.
Prof. Dr. Selo Soemardjan
Bergelar lengkap Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan,
terlahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915 dan meninggal di Jakarta pada 11 Juni 2003
pada umur 88 tahun ini dikenal sebagai bapak sosiologi Indonesia. Banyak sekali
buku acuan sosiologi dan anthropologi Indonesia bersumber atau berpegangan pada
buku-buku beliau. Nama Selo Soemardjan begitu kenthal dalam ingatan orang-orang
yang pernah belajar ilmu sosial dan kebudayaan di Indonesia.
Beliau adalah pendiri sekaligus Dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (kini FISIP-UI)
Ia dikenal sangat disiplin dan selalu memberi teladan konkret. Ia orang
yang tidak suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih, dan
sederhana. Ia tokoh yang memerintah dengan teladan, sebagaimana diungkapkan
pengusaha sukses Soedarpo Sastrosatomo. Menurut Soedarpo, integritas itu pula
yang membuat mendiang Sultan Hamengku Buwono IX berpesan kepada putranya,
Sultan Hamengku Buwono X agar selalu mendengarkan dan meminta nasihat kepada
Selo kalau menyangkut persoalan sosial kemasyarakatan. Ia orang yang tidak
pernah berhenti berpikir dan bertindak.
Ia dibesarkan di lingkungan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta
Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat
tinggi di kantor Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan-
begitu nama aslinya-mendapat pendidikan Belanda.
Nama Selo dia peroleh setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini
memang cara khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai daerahnya
masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa mengawali kariernya sebagai
sosiolog. "Saya adalah camat yang mengalami penjajahan Belanda, masuknya
Jepang, dilanjutkan dengan zaman revolusi. Masalahnya banyak sekali,"
tuturnya suatu ketika sebagaimana ditulis Kompas. Pengalamannya sebagai camat
membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan alternatif pemecahan
berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula yang membedakan Selo dengan
peneliti lain.
Sebagai ilmuwan, karya Selo yang sudah dipublikasikan adalah Social
Changes in Yogyakarta (1962) dan Gerakan 10 Mei 1963 di Sukabumi (1963).
Penelitian terakhir Selo berjudul Desentralisasi Pemerintahan. Terakhir ia
menerima Anugerah Hamengku Buwono (HB) IX dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
pada puncak peringatan Dies Natalis Ke-52 UGM tanggal 19 Januari 2002
diwujudkan dalam bentuk piagam, lencana, dan sejumlah uang.
2.
Prof Dr Paulus Wirutomo sang Sosiolog
Pendidikan
Prof Dr Paulus Wirutomo sosiolog dan guru besar FISIP Universitas
Indonesia. Pria kelahiran Solo, 29 Mei 1949, ini menamatkan sarjana sosiologi
dari Universitas Indonesia, 1976. Meraih S2 bidang Perencanaan Sosial dari
University College of Swansea Wales, Inggris, 1978 dan S3 bidang Sosiologi
Pendidikan dari State University of New York at Albany, USA, 1986.
Dia menjabat Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI, 2005-2009 dan Ketua
Program Magister Manajemen Pembangunan Sosial Pascasarjana UI, 1997-sekarang.
Menurutnya, pembangunan sosial saat ini masih disalahpahami. Bagi
pemerintah, pembangunan sosial hanya dianggap sebagai sektor pembangunan saja.
Meskipun hal ini tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak bisa dibenarkan.
Pasalnya, kata Paulus, pengertian pembangunan sosial yang benar itu
lebih dari sekadar pembangunan sektor. Dalam pembangunan sosial, harus termuat
peningkatan interaksi dan hubungan sosial dalam masyarakat. Tanpa terjadi
kualitas hubungan sosial dari langkah pembangunan sosial yang diambil, sulit
mengatakan adanya pembangunan sosial.
Menurutnya, bukan hanya pemerintah, tetapi sebagian besar kita masih
memahami pembangunan sosial itu sekadar charity yang tidak menghasilkan uang.
"Mengikuti logika pembangunan sosial sebagai sektor, maka pembangunan
sosial ini membutuhkan masukan berupa penyediaan anggaran, perlu pembiayaan.
Dan mengikuti pemahaman pembangunan sosial sebagai charity, maka pembangunan
sosial itu dianggap sebagai sebuah langkah yang tidak menghasilkan apa pun.
Atau paling tidak output-nya dinyatakan tidak menghasilkan uang,"
jelasnya.
Bahkan, menurut ahli sosiologi pendidikan itu, pendidikan, sama halnya
dengan kesehatan dan agama yang juga dianggap pembangunan sosial, terkadang
dianggap sebagai anggaran yang habis terpakai tanpa menghasilkan uang. Padahal,
ujarnya, pembangunan pendidikan itu akan menghasilkan peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang meningkat inilah yang nantinya
diharapkan akan menjadi pendorong terjadinya peningkatan kualitas hubungan
sosial.
Ditanya tentang adakah usaha yang sudah dilakukan untuk memberikan
pemahaman yang betul? Paulus mengatakan bahwa Departemen Sosiologi UI sudah
lebih dari 10 tahun terakhir sebenarnya sudah memberikan pemahaman yang betul,
melalui pembukaan program manajemen pembangunan sosial. Bahkan, menurutnya,
sebenarnya Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adyaksa Dault dan Menteri Negara
Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Suryadharma Ali merupakan sebagian
kecil dari orang Indonesia yang pernah mendapatkan pendidikan manajemen
pembangunan sosial di pascasarjana UI.
Paulus sangat risau dengan perjalanan bangsa yang kualitas hubungan
sosialnya sepertinya hanya jalan di tempat. Menurut Paulus, banyak bibit
kreatif sumber daya manusia yang telah dimatikan oleh kebijakan nasional yang
tidak berpihak pada usaha kreatif. Padahal, usaha kreatif ini mampu memberikan
sumbangan yang sangat besar bagi kemajuan bangsa.
3.
Arief Budiman
Banyak yang tidak tahu bahwa Arief Budiman adalah kakak kandung dari Soe Hok Gie
yang meninggal dunia sebagai tokoh pergerakan mahasiswa.
Lahir di Jakarta, 3 Januari 1941, dilahirkan dengan nama Soe Hok Djin,
adalah seorang aktivis demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok
Gie. Pada waktu itu ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia di Jakarta. Ayahnya seorang wartawan yang bernama Soe Lie Piet.
Sejak masa mahasiswanya, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Sejak masa mahasiswanya, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap
politik pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian
diperparah dengan praktik-praktik korupsinya. Pada pemilu 1973, Arief dan
kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai
tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk
menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Belakangan Arief "mengasingkan diri" di Harvard dan mengambil
gelar Ph.D. dalam ilmu sosiologi serta menulis disertasi tentang keberhasilan
pemerintahan sosialis Salvador Allende di Chili.
Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya
Wacana) di Salatiga. Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena
pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief melakukan mogok mengajar,
dipecat dan akhirnya hengkang ke Australia serta menerima tawaran menjadi
profesor di Universitas Melbourne.
Pada bulan Agustus 2006, beliau menerima penghargaan Bakrie Award, acara
tahunan yang disponsori oleh keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang
penelitian sosial.
Pasca kerusuhan Mei 1998, bersama istri Leila Ch. Budiman bermukim dan
mengajar di Universitas Melbourne, Australia.
4. Prof. Dr. Ir, Sajogyo
(lahir di Karanganyar, 21 Mei 1926 – meninggal di Bogor, 17 Maret 2012
pada umur 85 tahun) adalah seorang pakar ilmu sosiologi dan ekonomi yang juga
sering dikenal sebagai "Bapak Sosiologi Pedesaan" di Indonesia.
Dia turut meletakkan dasar-dasar studi sosial-ekonomi pedesaan di
Indonesia. Prof. Dr. Ir. Sajogyo tumbuh, meniti dan menjadi pemimpin studi
agraria Indonesia, dimulai dari kampus IPB, hingga menjadi Rektor IPB pada
tahun 1964. Dibesarkan dalam tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dari
pertanian, Prof. Dr. Ir. Sajogyo menyoal ekologi, pangan, gizi, tanah, agraria,
yang kesemuanya berada dalam konteks agri-culture (pembudidayaan), serta relasi
antara natura dan humana. Ia menghabiskan masa kanak-kanak hingga remajanya di
beberapa kota: Karanganyar, Bandung, Cepu, Barabai, Kediri, Banjarnegara,
Purwakarta, Solo, dan Yogyakarta, mengikuti ayahnya bertugas sebagai seorang
guru. Ia mulai mengenal dan bekerja untuk pedesaan sejak tahun 1949 ketika
belajar di Fakultas Pertanian UI di Bogor, atau kini dikenal dengan Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Pria yang sempat identik dengan jenggot putih ini melahirkan 'garis
kemiskinan Sajogyo'. Menurutnya, kelompok miskin adalah rumah tangga yang
mengkonsumsi pangan kurang dari nilai tukar 240 kg beras setahun per kepala di
pedesaan atau 369 kg di perkotaan. Dari sini diperoleh angka kecukupan pangan
2.172 kg orang per hari. Sehingga untuk angka di bawah itu termasuk kategori
miskin.
Pada 2011 Sajogyo meraih Habibie Award 2011 untuk kategori ilmu sosial.
Sajogyo mengabdikan dirinya untuk ilmu pengetahuan. Hal itu tercermin saat
dirinya mendirikan Sajogyo Institute yang merupakan badan pelaksana Yayasan
Sajogyo Inti Utama yang didirikan pada tahun 2005 lalu. Sajogyo membangun
institut ini bersama para kolega, sahabat, murid dan anak-anak muda yang
terinspirasi oleh kepedulian, pemikiran dan konsistensi perjuangan yang panjang
dalam memahami dinamika masyarakat petani dan penghidupan di pedesaan.
5.
Mochtar Naim
Lahir di Nagari Sungai Penuh, Kerinci, Jambi, 25 Desember 1932;
merupakan antropolog dan sosiolog Indonesia. Selain sebagai sosiolog ternama,
Mochtar Naim tampil kemuka sebagai ahli Minangkabau. Dalam beberapa seminar dan
tulisan-tulisannya, Mochtar kerap membagi budaya Nusantara kepada dua konsep
aliran. Polarisasi budaya yang digambarkan Mochtar adalah konsep budaya yang
bercirikan sentrifugal yang diwakili oleh budaya M (Minangkabau), berlawanan
dengan konsep budaya sentripetal-sinkretis yang diwakili oleh budaya J (Jawa).
Ia menamatkan studi sarjananya ke tiga universitas sekaligus, Universitas Gadjah Mada, PTAIN, dan Universitas Islam Indonesia, yang kesemuanya di Yogyakarta. Kemudian studi masternya dilanjutkan di Universitas McGill, Montreal. Melengkapi jenjang pendidikannya, Mochtar mengambil gelar PhD-nya di University of Singapore.
Ia menamatkan studi sarjananya ke tiga universitas sekaligus, Universitas Gadjah Mada, PTAIN, dan Universitas Islam Indonesia, yang kesemuanya di Yogyakarta. Kemudian studi masternya dilanjutkan di Universitas McGill, Montreal. Melengkapi jenjang pendidikannya, Mochtar mengambil gelar PhD-nya di University of Singapore.
Mochtar tercatat sebagai pendiri Fakultas Sastra Universitas Andalas,
1980, dan sejak itu ia menjadi dosen sosiologi universitas yang sama. Sebelum
itu ia pernah duduk sebagai Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial
Universitas Hasanuddin di Makassar, dan Direktur Center for Minangkabau
Studies, Padang.
Cita-cita menuju masyarakat yang cerdas dan merdeka terlalu sempit
diwadahi dalam satu kelembagaan, diterobos dari satu sisi, dan dilakukan oleh
aktor-aktor yang terpisah. Cita-cita itu adalah cita-cita besar kita semua,
membangun Keindonesiaan yang cerdas dan merdeka: “...Slamatkan tanahnya,
slamatkan puteranya, pulaunya, lautnya semuanya. Indonesia Raya, merdeka
merdeka, hiduplah Indonesia Raya..!”
6.
George Junus Aditjondro
Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 27 Mei 1946; Ia pernah jadi wartawan
untuk Tempo. Pada sekitar tahun 1994 dan 1995 nama Aditjondro menjadi dikenal
luas sebagai pengkritik pemerintahan Soeharto mengenai kasus korupsi dan Timor
Timur. Ia sempat harus meninggalkan Indonesia ke Australia dari tahun 1995
hingga 2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia ia
menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi. Sebelumnya
saat di Indonesia ia juga mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana.
Sepulangnya dari Australia,
ia menulis beberapa buku kontroversial yang dia rangkum dari internet, koran
dan sumber-sumber lainnya.
Saat hendak menghadiri sebuah lokakarya di Thailand pada November 2006, ia dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada tahun 1998.
Pada akhir bulan Desember 2009, saat peluncuran bukunya Membongkar Gurita Cikeas, ia dituduh melakukan kekerasan terhadap Ramadhan Pohan, seorang anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Beberapa lama setelah peluncuran bukunya terakhir, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keprihatinannya atas isi buku tersebut.Buku itu sempat ditarik dari etalase toko walaupun pada saat itu belum ada keputusan hukum terhadap peredaran buku itu
7.
Mely Tan Giok Lan
Lahir di Jakarta, 11 Juni 1930 dengan nama Tan Giok Lan. Sejak masa
mudanya, ia bercita-cita menjadi Sinolog (ahli masalah Cina), sehingga kemudian
belajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia jurusan Sinologi. Studi ini dirampungkannya
pada 1959. Didorong oleh kegemaran bergaul dan mengamati perilaku manusia, ia
mengembangkan bidang studinya kepada Sosiologi. Gelar MA diraihnya di
Universitas Cornell, Ithaca Amerika Serikat (1961), dan selanjutnya meraih
gelar doktor dari University California, Berkeley, Amerika Serikat (1968).
Kesibukan yang dihadapinya masih ditambah dengan aktivitasnya dalam sejumlah
organisasi. Ia menjabat sekretaris umum Himpunan Indonesia untuk Pengembangan
Ilmu-ilmu Sosial (1975-1979), anggota Panitia Pengarah Task Force on
Psychosocial Research in Family Planning WHO, Jenewa, Swiss (sejak 1977), dan
anggota redaksi majalah Masyarakat Indonesia dan majalah Berita Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Beberapa karangannya adalah The Chinese of Sukabumi
(1963), The Chinese in the United States (1971), Social and Cultural
Determinants of Family Planning Services (1974), Golongan Etnis di Indonesia:
Suatu Masalah Pembinaan Kesehatan Bangsa (editor, 1979), dan Ethnicity and
Fertility in Indonesia (1985).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar